Tuesday 23 November 2010

INSIDEN JABAT TANGAN SANG MENTERI DAN FIRST LADY

Kunjungan Presiden Amerika Serikat, Barrack Hussein Obama ke Indonesia pada 9-10 November 2010 lalu rupanya menyisakan sebuah peristiwa menarik. Pasalnya, Menkominfo Tifatul Sembiring kedapatan berjabat tangan dengan first lady, ibu negara AS, Michele Obama. Keruan saja, peristiwa langka ini pun menjadi kontroversi di media massa nasional bahkan pemberitaan di negara paman sam pun ramai-ramai menjadikannya berita utama .....

Tifatul Sembiring, Sang Menkominfo seperti yang diketahui masyarakat luas adalah salah satu menteri kabinet pembangunan bersatu jilid 2 yang berasal dari Partai Keadilan Sejahtera (PKS). Bukan pula sebuah rahasia, bahwa Sang Menteri, dengan keyakinanannya sebagai pemeluk Islam adalah sosok yang tidak biasa berjabat tangan dengan kaum hawa. Kebiasaan ini bukan merupakan kebiasan aneh yang dipilih orang Sang Menteri saja. Banyak pemeluk agama Islam lainnya di Indonesia ini, baik perempuan maupun pria yang juga menghindari berjabat tangan atau bersentuhan dengan lawan jenis demi menjaga kehormatan masing-masing pihak.

Nah, hal inilah yang kemudian menjadi sebuah 'insiden' kecil dan menuai banyak perdebatan. Jabat tangan kontroversial itu terjadi saat Sang Presiden AS beserta ibu tengah melakukan kunjungan ke Istana Negara dan menerima sambutan secara protokoler Presiden RI dan ibu beserta para menterinya tanpa terkecuali Menkominfo. Caranya, ya jabat tangan itu tadi !

Kisahnya bermula saat Sang First Lady tiba di hadapannya, Sang Menteri tertangkap kamera terkesan menyambut uluran tangan Sang First Lady secara serta merta. Tidak hanya itu, memang dalam rekaman gambar terlihat bahwa Sang Menteri bahkan menggenggam erat tangan sang First Lady dengan kedua tangannya dengan penuh antusias. Gambar boleh bicara begitu, tapi keyakinan dan suasana hati yang sebenarnya belum tentu sama dengan yang terlihat di gambar.

PILIHAN KEYAKINAN ADALAH PRIVASI
Suatu ketika beberapa tahun lalu saya sempat membaca profil seorang pejabat bank sentral yang dimuat dalam sebuah media massa. Ia seorang perempuan, setengah baya dan berkerudung dengan jabatan cukup tinggi. Kebiasaannya antara lain adalah melaksanakan shalat dhuha segera setibanya beliau di kantor. Untuk itu, beliau selalu mempersiapkan dirinya untuk shalat dhuha sejak berangkat dari rumah dan menjaga wudhunya hingga tiba di kantor.

Beliau sungguh beruntung dapat melaksanakan niatnya dengan berhasil dan relatif tanpa kendala yang berarti. Pertama, karena beliau seorang pejabat tinggi maka setiap hari ke kantor beliau diantar supir. Beliau hanya duduk di kendaraan tanpa harus melakukan aktivitas yang memungkinkanya bersentuhan dengan orang lain yang dapat membatalkan wudhunya. Misalnya, membayar tol yang bisa jadi petugasnya adalah seorang pria sehingga dapat membatalkan wudhunya. Kedua, di tempatnya bekerja memiliki budaya yang memungkinkannya menjaga wudhunya dengan aman.

Kebetulan, sesekali saya pun ingin melakukan hal yang sama, melakukan shalat dhuha di kantor dan menjaga wudhu sejak dari rumah. Persoalan pun menjadi jauh rumit bagi saya. Pertama soal berkendara itu tadi karena berkendara sendiri maka saya berpeluang untuk batal wudhu saat membayar tol atau parkir saat harus mampir ke suatu tempat misalnya sebelum menuju kantor. Kedua, ini jauh lebih sulit, budaya tempat saya bekerja adalah penganut berjabat tangan hampir di setiap kesempatan ! Hahahaha ... !

BUDAYA LOKAL JABAT TANGAN
Mungkin, lingkungan tempat anda bekerja termasuk yang menganut soal berjabat tangan siapa saja, di mana saja, kapan saja. Jadi, sejak tiba di pintu gerbang dan bertemu petugas pengamanan hingga petugas kebersihan, seluruh pegawai sudah 'terbiasa' dengan berjabat tangan dengan siapapun yang ditemuinya. Tiba di ruangan pun 'harus' berjabat tangah dengan pegawai lain yang sudah tiba di sana.

Saat berurusan dengan pegawai di ruang yang berbeda pun 'wajib' berjabat tangan dengan sang tuan rumah dan semua penghuninya. Saat mengikuti sebuah rapat di ruang rapat manapun pun tidak bisa tidak, siapa pun kudu berjabat tangan dengan semua yang hadir di sana. Begitu pun saat pulang kerja dan mengakhiri setiap aktivitas, setiap orang musti saling berjabat tangan. Akhirnya kesimpulannya, pegawai yang tidak turut membiasakan diri dalam salah satu bagian budaya itu menjadi terlihat 'aneh' dan terseleksi alam ....

Seorang teman perempuan walaupun bukan penganut Islam fanatik, tapi ia termasuk yang merasa nyaman untuk tidak bersalaman dengan lawan jenis. Ia pun bercerita saat ia mencoba memulai sesuatu yang baru untuk mensubstitusikan kebiasaan berjabat tangan dengan ucapan salam yang baik dan lebih meriah. Maka, kala memasuki ruang kerja di pagi hari ia pun mengucapkan salam "Assalamualaikum" dan selamat pagi kepada siapa saja sambil melambaikan tangan sembari menuju ke meja kerjanya. Ia menyadari, bahwa hal ini besar kemungkinan menimbulkan salah paham terutama di kalangan atasan karena bisa saja menganggap para pegawai tidak sopan karena tidak berjabat tangan.

Kebetulan saya, ingin sekali bisa melaksanakan shalat dhuha di kantor. Berjabat tangannya itu sendiri, tidak terlalu menjadi soal bagi saya. Saya hanya butuh menjaga wudhu saya agar bisa melaksanakan shalat dhuha di pagi hari. Maka saat saya disodori tangan yang mengajak berjabat tangan biasanya saya segera merespon dengan mengatupkan kedua belah tangan sambil mengucapkan selamat pagi atau assalamualaikum, sembari mengatakan maaf saya masih punya wudhu akan shalat.

Secara kasat mata, umumnya mereka mengerti, namun entah dalam hatinya. Tanpa bermaksud riya atau pamer ibadah, keterusterangan akan hal itu perlu disampaikan agar tidak salah paham walau tetap saja ibarat memakan buah simalakama. Kenyataannya, saya pernah sekali waktu sudah menyampaikan secara baik2 tentang niat shalat saya, namun seorang atasan pria justru menyentuh wajah saya dengan kedua tangannya dan 'nguyel2' kepala saya. Saya pun marah bukan kepalang dibuatnya. Mungkin maksudnya bercanda, tapi tentu kurang pas dalam hal ini.

Pepatah bilang, "Di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung" itu benar adanya. Namun manakala budaya yang harus diikuti tidak selaras dengan keyakinan spiritual menyangkut prinsip-prinsip religius tentu ini menjadi persoalan yang serius. Untuk itu, manusia pun 'terpaksa' memilih. Bila, setiap makhluk sosial memiliki toleransi yang baik mengenai perbedaan pilihan itu, seharusnya hal seperti ini tidak lagi menjadi soal.

CANGGUNG
Dalam kasus Menkominfo, dalam jejaring sosialnya beliau tetap bersikeras bahwa ia pada prinsipnya tetap dengan keyakinannya bahwa ia tidak berjabat tangan dengan lawan jenis. Pasalnya kejadian saat itu sangat situasional. Saat Sang First Lady sudah mengulurkan tangannya, ia merasa tidak enak hati untuk tidak menyambut uluran tangannya. Selain itu, bila ia tetap menolak uluran tangan sang First Lady, berpotensi untuk menimbulkan rasa malu, canggung, ketidaknyamanan pada kedua belah pihak, baik bagi First Lady, maupun pemerintahan RI yang mana salah seorang Menterinya mengabaikan uluran tangan First Lady tamunya untuk sekedar berjabat tangan.

Sesungguhnya situasi seperti ini bisa jadi hanya dapat dirasakan dan dimengerti oleh mereka yang pernah mengalami hal seperti ini. Sesungguhnya mereka pun merasa canggung terpaksa menolak uluran tangan seseorang apalagi dalam situasi yang resmi dan protokoler, maka suasana menjadi jauh lebih sulit.

TOLERANSI DAN MENGHARGAI PILIHAN
Intinya sesungguhnya bukan pada jabat tangannya, tapi penghargaan atas pilihan sikap orang lain, mampukah kita melakukan itu ? Bila yang bersangkutan suatu ketika melampaui keyakianannya sendiri, yakinlah itu pasti sangat situasional dan ada alasannya. Anda toh bisa merasakan, seorang CEO yang menganut keyakinan serupa namun disodorkan pada pilihan satu-satunya; "jabat tangan" saat bersilaturahmi lebaran, maka jabatan tangannya sungguh terasa hambar, tawar, dingin tanpaadanya 'rasa' sedikitpun di dalamnya. Tak ada genggaman yang erat, tak ada ayunan yang meyakinkan, tak ada pula kehangatan di sana. Apalagi wajahnya, yakin karena apa yang ia lakukan tidak sesuai dengan keyakinannya maka sudah jabatan tangannya terasa begitu dingin, ekspresi wajahnya pun tak kalah dingin, beku bagai gunung es.

Demikianlah keyakinan ... tak bisa dipaksakan. Kalaupun tetap digugurkandan terjadi di luar kebiasaan itu karena sebuah alasan yang wajar dan toleransi itu sendiri. 'Ia', keyakinan itu bertoleransi atas kebiasaan orang banyak ....

Thursday 18 November 2010

KASUS GAYUS REALITA SISTEM PERADILAN INDONESIA

Secara normatif, biaya hidup tertinggi di Indonesia adalah biaya kesehatan dan pendidikan. Namun Kasus Gayus, merupakan realita, kenyataan hidup yang sebenarnya di Indonesia. Peradilan di Indonesia adalah mafia. Peradilan di Indonesia adalah gangster. Peradilan di Indonesia bisa jadi melampaui kebutuhan yang lebih utama, pendidikan dan kesehatan manusia.

Yakinlah, membeli kebebasan bukan hanya dilakukan oleh Gayus saja. Membeli kebebasan dari sistem peradilan di Indonesia adalah hukum tak tertulis yang sebenarnya "ditegakkan" oleh aparat hukum di Indonesia. Sebut saja, kepolisian, kejaksaan, pengadilan hingga rumah tahanan atau lapas, semuanya sama saja, berujung dan berpangkal pada uang !

Akibatnya, perlawanan, perjuangan melawan peradilan di Indonesia tak ubahnya sebuah prestise. Siapa yang punya uang lebih, maka akan bisa jauh lebih banyak "membeli" previlegde peradilan ! Pengurangan hukuman, kemudahan fasilitas, perolehan remisi, grasi, hingga pembebasan hukuman sangat tergantung pada banyaknya nilai rupiah yang Anda miliki !

Lihat saja perilaku polisi lalu lintas di pinggir jalan. Mereka itu ibarat pengemis berseragam ! Pengemis, masih berbesar hati, jujur memposisikan dirinya sebagai pengemis sejak awal. Tapi lihat kelakukan polisi. Mereka memasang perangkap, bersembunyi dan "priiiiit ... !" mereka menangkap para korbannya setelah menciptakan peluang, mengintai beberapa waktu, dan "menangkap tangan" korban-korbannya.

Model BAP pun sangat mungkin dinegosiasikan bila uang dengan piawai mampu berbicara. Putusan final pengadilan bahkan mahkamah agung pun bisa cepat diserahkan apabila kecepatan uang mampu mengucur lebih banyak dan lebih cepat. Tanpa uang, maka peluang Anda diperlakukan adil oleh sistem peradilan sungguh amat kecil !

Rutan di manapun menarik pungutan berbilang ribuanrupiah per orang yang akan berkunjung. Sementara begitu memasuki pintu lapas atau rutan, pengunjung masih pula harus menyiapkan uang bagi "mbah maridjan" alias juru kunci. Tiba di dalam rutan, pengunjung masih juga harus memberikan upeti demi kelancaran selama berkunjung.

Penghuni rutan pulang, plesir, bepergian, berobat, cuti, dsb ? Itu sebuah keniscayaan ! Semua orang kaya yang berada di rutan melakukannya ! Itu bukan rahasia lagi. Maka kasus Gayus ini sebagai pemicu terbongkarnya sistem peradilan di Indonesia ? Tentu saja sama sekali tidak.

Kasus Gayus menjadi tunggangan atas banyak kepentingan. Baik kasus hukumnya itu sendiri maupun kepentingan politik yang saling berkait dan bersinggungan di antaranya. Maka Gayus pergi ke Bali nonton tenis, sementara di pengadilan air mata buayanya berkilah ia rindu keluarga, istri dan anak-anaknya, itu tentu bisa dilakukan di rutan bukan ? Atau paling apes ya kabur ke rumah.

Namun begitulah sistem peradilan di Indonesia. Sekali lagi, ini adalah sebuah kekeliruan yang sistemik serta dialkukan secara berjamaah, bertahun-tahun di seluruh wilayah tanah air. Berat hati mengakui ? Sayang sekali, negara Indonesia tercinta ini, memang seburuk itu saat ini. Suatu hari akan berubah menjadi baik, inssya Allah ya. Namun demi sebuah kejujuran, inilah realita yang sebenarnya yang harus dibenahi tanpa pandang bulu, siapa saja.