Secara normatif, biaya hidup tertinggi di Indonesia adalah biaya kesehatan dan pendidikan. Namun Kasus Gayus, merupakan realita, kenyataan hidup yang sebenarnya di Indonesia. Peradilan di Indonesia adalah mafia. Peradilan di Indonesia adalah gangster. Peradilan di Indonesia bisa jadi melampaui kebutuhan yang lebih utama, pendidikan dan kesehatan manusia.
Yakinlah, membeli kebebasan bukan hanya dilakukan oleh Gayus saja. Membeli kebebasan dari sistem peradilan di Indonesia adalah hukum tak tertulis yang sebenarnya "ditegakkan" oleh aparat hukum di Indonesia. Sebut saja, kepolisian, kejaksaan, pengadilan hingga rumah tahanan atau lapas, semuanya sama saja, berujung dan berpangkal pada uang !
Akibatnya, perlawanan, perjuangan melawan peradilan di Indonesia tak ubahnya sebuah prestise. Siapa yang punya uang lebih, maka akan bisa jauh lebih banyak "membeli" previlegde peradilan ! Pengurangan hukuman, kemudahan fasilitas, perolehan remisi, grasi, hingga pembebasan hukuman sangat tergantung pada banyaknya nilai rupiah yang Anda miliki !
Lihat saja perilaku polisi lalu lintas di pinggir jalan. Mereka itu ibarat pengemis berseragam ! Pengemis, masih berbesar hati, jujur memposisikan dirinya sebagai pengemis sejak awal. Tapi lihat kelakukan polisi. Mereka memasang perangkap, bersembunyi dan "priiiiit ... !" mereka menangkap para korbannya setelah menciptakan peluang, mengintai beberapa waktu, dan "menangkap tangan" korban-korbannya.
Model BAP pun sangat mungkin dinegosiasikan bila uang dengan piawai mampu berbicara. Putusan final pengadilan bahkan mahkamah agung pun bisa cepat diserahkan apabila kecepatan uang mampu mengucur lebih banyak dan lebih cepat. Tanpa uang, maka peluang Anda diperlakukan adil oleh sistem peradilan sungguh amat kecil !
Rutan di manapun menarik pungutan berbilang ribuanrupiah per orang yang akan berkunjung. Sementara begitu memasuki pintu lapas atau rutan, pengunjung masih pula harus menyiapkan uang bagi "mbah maridjan" alias juru kunci. Tiba di dalam rutan, pengunjung masih juga harus memberikan upeti demi kelancaran selama berkunjung.
Penghuni rutan pulang, plesir, bepergian, berobat, cuti, dsb ? Itu sebuah keniscayaan ! Semua orang kaya yang berada di rutan melakukannya ! Itu bukan rahasia lagi. Maka kasus Gayus ini sebagai pemicu terbongkarnya sistem peradilan di Indonesia ? Tentu saja sama sekali tidak.
Kasus Gayus menjadi tunggangan atas banyak kepentingan. Baik kasus hukumnya itu sendiri maupun kepentingan politik yang saling berkait dan bersinggungan di antaranya. Maka Gayus pergi ke Bali nonton tenis, sementara di pengadilan air mata buayanya berkilah ia rindu keluarga, istri dan anak-anaknya, itu tentu bisa dilakukan di rutan bukan ? Atau paling apes ya kabur ke rumah.
Namun begitulah sistem peradilan di Indonesia. Sekali lagi, ini adalah sebuah kekeliruan yang sistemik serta dialkukan secara berjamaah, bertahun-tahun di seluruh wilayah tanah air. Berat hati mengakui ? Sayang sekali, negara Indonesia tercinta ini, memang seburuk itu saat ini. Suatu hari akan berubah menjadi baik, inssya Allah ya. Namun demi sebuah kejujuran, inilah realita yang sebenarnya yang harus dibenahi tanpa pandang bulu, siapa saja.
No comments:
Post a Comment