- Percaya pada Allah SWT,
- Percaya pada nabi dan rasul,
- Percaya pada malaikat,
- Percaya pada kitab Alquran,
- Percaya pada hari akhir,
- Percaya pada qada dan qadar
Maka, bagi masyarakat NU, selain wajib meyakini keenam Rukun Iman, mereka pun 'menambahkan'nya dengan rukun yang berikutnya, yaitu "percaya kepada Gus Dur" ! Demikianlah, kecintaan masyarakat NU kepada sosok Gus Dur, hingga mereka pun 'mewajibkan' dirinya untuk percaya kepada pemimpinnya, ulamanya. Sebagaimana saya mengenal 'samina watona' yang begitu akrab bagi masyarakat NU. "Saya mendengar, saya melaksanakan" begitulah kira-kira makna dan bentuk tindakan masyarakat NU menunaikan kewajibannya sebagai umat. Percaya, dan tunduk kepada pemimpinnya, yaitu ulamanya, maka percayalah mereka kepada ucapan Gus Dur ....
Sebagai orang biasa yang bukan siapa-siapa, (saya selalu menyebut diri saya outsider di tengah teman-teman komunitas NU, dan teman-teman selalu keberatan dengan bahasa saya), saya tidak mengenal Gus Dur sebaik saya mengenal Alwi Dahlan, dosen saya. Namun setidaknya, keberadaan saya dalam kepengurusan DKN Garda Bangsa, merupakan bukti, betapa Gus Dur memang tokoh yang sangat menjunjung tinggi pluralisme yang menginginkan perubahan pada tubuh NU ke arah yang lebih modern dan membuka diri.
Dalam organisasi pemuda yang dibentuk langsung oleh Gus Dur, saya dan seorang teman yang lain menjadi dua-duanya (bukan satu-satunya) orang muda 'non darah biru' dari kalangan pesantren atau turunan trah 'Gus'. Namun demikian, saya pun akhirnya terbiasa bertegur sapa dengan banyak Gus bahkan berkesempatan mengenal banyak tokoh besar politikus muda yang menjadi orang-orang pintar di kalangan NU dan Gus Dur. Saya juga terbiasa nongkrong di TVRI menonton Gus Iim (Hasyim Wahid), adik Gus Dur (walaupun beliau tidak kenal saya, wuakakakak) siaran soal politik hingga lewat tengah malam. Gus Iim-lah yang lebih banyak stand bye di kantor kami di bilangan Kemang, hampir setiap hari menemani teman-teman pengurus.
Saya & teman-teman bersama Sastro, 'ajudan' Gus Dur yang aktif sebagai seniman juga seringkali bareng-bareng nonton Ketoprak Humor di Tim hingga pukul 02.00 pagi ... ! Lain waktu nyupirin Sekjen dari Jakarta ke Kudus atau nemenin Sekjen ke Lampung Selatan ! Atau bertandang, tepatnya meledek Cak Imin (Muhaimin Iskandar) yang mendadak jadi orang penting lantaran diangkat menjadi anggota dewan/majelis di kediamannnya di Widya Candra. Di lain kesempatan, saya pun bertandang ke rumah Alm. Matori Abdul Djalil di Jati Padang, Pasar Minggu, mantan ketua PKB dan turut merasa stress nersama teman-teman yang lain saat beliau ditikam orang hanya beberapa hari berselang setelah beliau membuka secara resmi Konferensi Nasional Garda Bangsa di Denpasar Bali pada tahun 1999.
Menyambangi pernikahan kerabat salah seorang 'Gus' yang adanya jauh di Rembang dengan melalui jalur darat dari Jakarta pun menjadi hal 'biasa' bagi saya yang asli tukang mabok darat untuk perjalanan lebih dari 1 (satu) jam saja ! Merayakan harlah (hari lahir/HUT) PKB di kuningan saat kantor PKB masih di sana, atau pesta musik rakyat di Jogya, semuanya berkendaraan darat bersama Oneng yang akrab dipanggil Keke (Rieke Diah Pitaloka) yang saat itu menjadi salah satu Ketua dalam kepengurusan DKN Garda Bangsa yang tak keberatan menumpang mobil elef dari Jakarta hingga Jogja hingga macet berjam-jam dan terpaksa menempuh perjalanan lebih dari 16 jam ! Termasuk merayakan HUT bersama-sama antara Karto, Keke dan saya yang sama-sama berhari jadi di bulan Januari dan hanya berselang masing-masing tidak lebih dari 3 (tiga) hari.
Dalam komunitas Gus Dur ini, saya bersyukur telah belajar banyak hal. Saya beruntung karena saya memasuki komunitas NU di saat mereka tengah melakukan transformasi dan berusaha mengubah citranya dari masyarakat pesantren yang kampungan dan ndeso menjadi kaum intelektual muda yang modern dengan landasan keIslaman yang kuat. Arvin Hakim Thoha sang Ketum, kami biasa memanggilnya Karto, selalu berteriak keras bila melihat teman-teman pengurus ini terlihat masih saja suka mengenakan sarung saat berkantor dan menerima tamu. "Kebiasaan elek ojo diteruske, sarungan wae !" hardiknya.
Banyak hal yang saya temui boleh jadi memang hanya hal-hal kecil. Namun demikian, hal kecil itu sungguh besar maknanya karena semua itu sesuatu yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Secara, saya besar di keluarga dan kedua orang tua saya fanatik Golkar, sementara nenek saya fanatik Nasionalis/Sukarnois/Marhaenis dan muhamadiya tulen ! Jadi, saya menyaksikan sendiri niat besar perubahan dan perbaikan diri yang diuapayakan teman-teman NU. Dan itu, tentu saja atas dorongan Gus Dur agar masyarakat NU menjadi lebih intelek dalam bersikap dan berpikir. Lebih terbuka dan menjadi kaum yang menghargai dan menghormati perbedaan.
Walaupun saya tidak mengenal semua tokoh hebat yang sekarang terang benderang di jagad perpolitikan Indonesia, tapi saya menyaksikan lalu lalang kehadiran mereka di kantor kami saat itu, sepuluh tahun lalu. Saya juga beruntung, saya berkesempatan masuk dalam lingkungan NU saat Gus Dur akhirnya memenangkan pesta demokrasi yang pertama kali digelar secara fenomenal setelah kelengseran rezim orde baru yang telah berkuasa lebih dari 32 tahun, menjadi Presiden. Walaupun hanya sesaat, tapi saya ingat betul Gus Dur melarang kami semua memanfaatkan keberadaanya dalam meminta sumbangan di berbagai instansi pemerintah untuk membiayai atau mensponsori kegiatan organisasi kami.
Dengan pekerjaan saya kini, tentu ini menjadi semua konsekuensi yang harus saya jalani. Saya terpaksa menjaga jarak dengan aktivitas bersama teman-teman NU, tapi tidak dalam berkawan. Rasanya memang menyenangkan, menyadari ternyata saya mempunyai pengalaman yang berkesan, tumbuh, belajar, dan berkembang dengan komunitas masyarakat Islam terbesar di negeri ini, yang tokohnya sangat dihormati juga ... tak jarang dicaci.
Saat menyaksikan kepergian Gus Dur melalui televisi semalam, saya merasa ... saya ingin kembali berada bersama mereka, teman-teman semua. Maka rasanya tak ada lagi yang berani membanyol soal sepak terjang Gus Dur yang fenomenal itu. Kecuali mengenang keunikan dan kekerasan hatinya dalam membela kepentingan kaum minoritas, dan meyakinkan masyarakat dalam menyederhanakan segala persoalan, katanya, "Gitu aja kok repot ..." Selamat jalan Gus Dur ....
No comments:
Post a Comment