Seorang anak tidak mengidolakan ayahnya. Karena sejak kecil yang ia temui adalah ayahnya yang sering berhutang dan selalu berbohong sedang tidak berada di rumah kala sang penghutang datang menagihnya. Si anak merasa malu karena apa yang ditemuinya di rumah berbeda dengan nilai-nilai yang diajarkan di sekolah. Begitu seringnya sang anak menyaksikan kebohongan ayahnya, sampai-sampai berpuluh tahun kemudian hal tak pantas itu masih melekat dalam ingatannya.
Seorang anak tidak menghargai ayahnya. Karena ayahnya melampiaskan kekesalan pada ibunya justru kepadanya. Saat sang ibu melakukan kesalahan, sang ayah tidak mampu menerima realita dan menanggung kekecewannya terhadap istrinya sehingga menumpahkan kekesalannya pada sang anak. Sang anak pun menilai bahwa cinta membuat ayahnya buta dan tidak mampu berpikir rasional. Sang anak mendapati ayahnya tidak ksatria dan tidak lebih dari seorang pengecut yang memalukan karena menjadikan anak sebagai korban di antara pertikaian kedua orang tuanya.
Seorang anak tidak meneladani orang tuanya. Karena saat sang anak dipaksa untuk mengaji, ia tidak melihat orang tuanya shalat 5 waktu dalam kesehariannya.
Seorang anak tidak menghormati ayahnya. Karena ayahnya memimpin keluarganya dengan otoriter dan kerap mengeluarkan kata-kata yang tidak pantas untuk didengar. Bila sang ayah marah, kata-kata kotor dan merendahkan meluncur bertubi-tubi di telinga dan sangat menyakitkan hati. Sang ayah pun kerap memukul dan menampar. Sikap buruk sang ayah yang tidak penyayang dan lemah lembut sangat melukai dan membekas dalam hati sang anak hingga ia dewasa.
Seorang anak tidak merasa dekat dengan ibunya. Karena ibunya tidak pernah mengajaknya bicara sebagaimana seorang ibu bicara dari hati ke hati kepada anak-anaknya. Sang anak pun kecewa karena ibunya menjadi orang yang tidak bisa diandalkan sebagai penengah di tengah-tengah sikap otoriter ayahnya. Ibunya hanya mengajarkannya untuk menurut, menurut, dan menurut. Sang anak tidak diperkenankan menyampaikan pendapatnya. Pun, sang anak tidak dapat mengharapkan pertolongan sang ibu atas sikap ayahnya yang sangat intimidatif.
Seorang anak tidak merindukan ibunya. Karena ibunya tidak membiarkan sang anak memiliki privasinya. Sang ibu menganggap sang anak tidak berhak untuk menentukan teritorinya sebagai individu yang berhak pula dihargai kemerdekaannya sesuai porsinya sebagai anak dalam keluarga. Sang ibu selalu menganggap sang anak tidak berhak atas apapun di rumah bahkan untuk hal normatif konvensional dalam wilayah keluarga.
Seorang anak tidak ingin menjadi seperti ibunya. Karena ibunya bukan madrasah utama sebagaimana yang teman-temannya suka ceritakan tentang sosok ibunya. Sang anak belajar hidup tanpa pernah didampingi ibunya dengan petuah-petuahnya yang menenangkan dan bijaksana.
Seorang anak tidak ingin menjadi seperti ayahnya. Karena ayahnya seringkali melarang sang anak melakukan sesuatu dengan alasan mengada-ada dan tidak masuk akal.
Seorang anak tidak merindukan ibunya. Karena ibunya membedakan perhatiannya secara nyata satu sama lain di antara anak-anaknya. Sang anak menilai bahwa ketidakadilan bukanlah sesuatu yang mengganggu, melainkan ketidakjujuran sang ibu untuk mengakui ketidakadilannyalah yang membuat sang anak kecewa. Kedua orang tuanya sama tidak dewasa dalam sikapnya.
Seorang anak tidak mempercayai ayahnya. Karena ayahnya tidak mau belajar dari kekeliruannya. Sang ayah merasa anak tidak berhak untuk memberikan pencerahan kepada orang tua. Sang ayah beranggapan orang tua akan selalu lebih berilmu ketimbang anak-anaknya. Sang ayah murka bila sang anak menyampaikan realita, bahwa sang ayah telah salah dalam melangkah. Sang ayah sangat sombong untuk mengakui kekeliruannya. Akibatnya, sang ayah melakukan kesalahan yang sama, lagi, lagi, dan lagi, dan sang anak harus menanggung resikonya lagi, lagi, lagi dan lagi. Dan sang ibu alih-alih membaktikan dirinya sebagi seorang istri yang sholehah, mengamini saja setiap kesalahan yang sama yang dilakukan suaminya, tanpa pernah berani mengingatkan kesalahannya.
Sang anak tidak membanggakan orang tuanya. Karena sang anak selalu berhadapan dengan orang tuanya yang sangat egois dan tidak rasional atas setiap keputusan yang dibuatnya atas diri anak-anaknya. Sang anak juga harus menanggung risiko akibat kecerobohan yang disebabkan oleh kedua orang tuanya. Sang anak telah kehilangan ikatannya terhadap kedua orang tuanya karena mereka telah tidak bertanggung jawab atas berbagai masalah yang dibuatnya yang memaksa sang anak harus mencari jalan keluarnya sendiri.
Sang anak merasa sangat tidak aman dalam menjalani hidupnya karena orang tuanya gagal menjaganya. Sang anak merasa orang tuanya telah mendatangkan banyak persoalan dalam hidupnya, dengan menanamkan nilai-nilai yang mendorong dan membentuk kharakternya menjadi seorang dengan kepribadian yang tidak menyenangkan. Akibanya, sang anak selalu menghadapi persoalan dalam melakukan interaksi dengan lingkungan sosialnya.
ANAK TAK BISA MEMILIH
Seorang anak, dilahirkan ke dunia tidak bisa memilih siapa orang tuanya. Seorang anak menjalani proses menjadi dewasa sebagai reaksi atas aksi yang dilakukan oleh orang tuanya. Seorang anak tidak bisa membentuk kharakternya sendiri, melainkan karena terbentuk oleh sikap alami dalam merespon sikap orang tuanya.
Seorang anak yang tidak mengidolakan orang tuanya menjadi kehilangan profil yang dihormatinya. Sang anak akan memilih orang lain untuk berbagi cerita. Dalam hal yang demikian ini, anak yang tidak dekat dengan orang tuanya, sangat rentan melakukan kesalahan. Saat sang anak tidak menemukan figur ayah yang pantas menjadi teladan, maka sedikit saja sang anak melihat kebaikan seorang pria, maka sang anak akan dengan mudah terpedaya. Karena sang ayah tidak memperlakukan sang anak dengan perlakuan yang lemah lembut dan penuh kasih sayang.
Akibatnya, semakin porak porandalah hidupnya. Sang anak tumbuh menjadi dirinya sendiri yang hanya mempercayai kemampuannya sendiri. Karena sepanjang hidupnya, dalam pertumbuhannya, sang anak tidak menemui lingkungan dan perlakuan yang layak diperolehnya sebagai seorang anak. Orang tuanya justru memperlakukan sang anak sabagai obyek penderita.
Orang tuanya yang pembohong dan tidak ksatria, membuat sang anak tidak mudah percaya pada siapa pun. Kurangnya perhatian dan kasih sayang orang tua, membuat sang anak mengharapkan kasih sayang yang berpotensi salah dan datang dari orang yang tidak tepat.
Kerapnya orang tua berkata-kata yang tidak pantas, membuat sang anak menjadi tak kalah keras kepribadiannya, tidak cengeng, tapi juga tak mau dikalahkan untuk apa pun sepanjang ia berpegang pada nilai-nilai yang benar, nilai-nilai yang tidak pernah diindahkan, ditumbuhkan oleh kedua orangtuanya. Ketidakadilan yang dirasakan sang anak menjadikannya tumbuh sebagai pribadi pemberontak atas ketidakadilan yang ia rasakan sepanjang hidupnya.
Akhirnya, sang anak menyadari bahwa ia menjadi anak yang tidak diharapkan sejak awal kehadirannya. Bisa jadi kelahirannya di dunia merupakan sebuah akibat yang menyebabkan ia menanggung kelelahan hati semenjak dalam rahim ibunya.
Sang ibu yang hamil muda dengan penuh beban dan tidak bahagia, mungkin tidak menyadari betapa kuatnya ikatan yang emosional yang mampu dialirkan melalui kalbu sang ibu kepada janinnya. Kekecewaan seorang ibu semasa kehamilannya, penderitaanya, keputusasaannya, penyesalannya, dan segala persoalannya telah mempengaruhi kondisi kejiwaan jabang bayi yang dikandungnya....
ANAK BERJUANG KARENA RASIONALITASNYA
Anak yang tumbuh dalam lingkungan yang demikian pun tumbuh sebagai seorang dewasa yang menemui banyak persoalan dalam interaksi sosialnya. Sang anak begitu dendam dengan segala hal yang tidak benar, tidak layak, tidak pantas, tidak adil, tidak aman yang sejak kecil ia temui.
Sang anak berjuang keras dengan rasionalitasnya. Betapa pun buruk perlakuan orang tua kepadanya, sudah kewajibannya sebagai makhluk beradab dan bertuhan, maka ia harus mencintai dan menghormati orang tuanya ! Dengan keimanannya, sang anak mengerti sepenuhnya bahwa sudah menjadi garisnya, setiap anak wajib mencintai dan mendoakan orang tuanya, tanpa syarat!
Sang anak berjuang keras karena tanpa ia sadari selama berpuluh tahun, nilai-nilai buruk yang ia peroleh telah mengkristal dalam pikiran, sikap dan perilakunya. Sang anak tidak mau semua hal buruk itu berlanjut lagi pada anak-anaknya kelak, menanggung derita sebagai anak yang selalu diabaikan, direndahkan, tidak dianggap, tidak didengar, tidak diharapkan.
Hanya keimanan yang mampu menjaganya, betapa pun itu masih saja merupakan sebuah jihad yang akan terus berlangsung hingga akhir hayatnya. Sang anak menyadari perjuangan
No comments:
Post a Comment