Monday 25 February 2013

SI MISKIN YANG SOMBONG

Hidup memang penuh misteri. Belasan tahun yang lalu, saya memulai ini dengan melodrama luar biasa yang menjadi pengalaman spiritual tak terlupakan....

ALKISAH
Belasan tahun lalu itu, saya berada pada titik nadir hingga menangis pun mata ini tak mampu lagi meneteskan airnya. Saya drop out kuliah S2, di saat saya menjadi ketua angkatan, dan itu terjadi pada semester 3 dari 4 semester yang harusnya saya tuntaskan.

Di saat yang bersamaan, saya tidak mampu membayar uang sewa kos sehingga semua harta benda saya, buku-buku pelajaran saya, konsep tesis saya, semua dokumen kuliah dan ujian S1 saya yang tersimpan rapi, baju-baju saya, sepatu, tas, perhiasan, perabotan, semuanya, diambil oleh yang punya kamar. Sebagian barang sempat saya ambil, saya susul di bekasi, tapi itu sungguh sangat sedikit dari hal terpenting yang saya punya, catatan kuliah sejak S1 hingga S2....

Di saat yang sama pula, saya menerima kenyataan adik saya menikah duluan. Gak penting-penting amat sih. Maksudnya ga mengganggu. Cuma dengan persoalan yang menumpuk begini, saya dipaksa stay tune untuk hajatan keluarga rasanya susah juga, karena hidup dan masa depan saya berantakan berat saat itu. No one in family helped me that moment....

Dan, di sisnilah melodrama itu. Saya nyaris kehilangan kesempatan mendapatkan pekerjaan karena saya tidak membaca surat panggilan tes pertama akibat surat panggilan dikirim ke alamat kamar kos.

Namun rezeki memang tidak salah alamat. Dengan bantuan seorang teman, suatu malam, tengah malam sekali, saya kembali ke kamar kos. Saya tahu kamar kos saya jendelanya rusak dan tidak pernah terkunci, hanya ditutup begitu saja. Alhasil saya bisa memasuki kamar kos dengan cara melompati jendela kamar.

Satu hal penting yang saya ingat malam itu adalah, setelah berada di dalam saya tidak menyalakan lampu. Saya hanya segera menuju ke lemari mengambil setumpuk dokumen ijasah sekolah saya dari SD hingga S1. Saya tidak pedulikan perhiasan, jam tangan semuanya saya tinggalkan. Berikutnya saya berjongkok di balik pintu dan memunguti setumpuk amplop undangan wawancara kerja. Kelar dengan 2 (dua) hal itu, saya kembali meloncati jendela dan meninggalkan kamar kos dengan semua hal yang ada di dalamnya, dan tidak pernah kembali, hingga saat ini.

Saat saya baca satu demi satu surat panggilan itu, barulah saya tahu, saya telah melewatkan jadwal tes yang telah ditentukan. Di situlah, untuk pertama kalinya saya merasakan menangis tanpa keluar air mata. Kesedihan saya sudah mentok dan terasa amat sangat getir.

Kembali, adalah seorang teman yang mendukung saya untuk tetap semangat dengan panggilan yang sudah terlewat itu. Saya mengirim surat pemberitahuan melalui fax dengan melampirkan alamat dan nomor telepon baru yang dapat dihubungi. Saya pun mendapatkan kesempatan kedua.

PERJUANGAN PANJANG

Sebagai seorang fakir yang putus sekolah dan tidak punya pekerjaan, maka panggilan tes kerja sangatlah berarti bagi saya. Namun dengan semua hal yang tiada lagi bersisa, maka pada tes pertama Bahasa Inggris itu saya pun tak punya apa-apa sebagai bahan belajar.

Saya hampiri seorang teman, saya sampaikan bahwa besok saya akan mengikuti tes Bahasa Inggris untuk mendapatkan pekerjaan. Saya katakan saya tidak punya apapun untuk dipelajari, kecuali semangat untuk terlepas dari pusaran kemiskinan ini.

Maka, ia menyerahkan kunci mobilnya sembari menjelaskan, di mobil ada uang yang bisa dipakai untuk membeli buku. Saat saya memasuki mobil dan bersiap menngendarainya menuju toko buku, saya dapat sebuah amplop di area hand rem, berisi segepok uang, banyak sekali. Sepulang membeli buku, saya kembalikan kunci mobilnya, berikut kuitansi pembelian sejumlah buku senilai kurang lebih Rp. 168.000,-.

Kelar tes pertama, alhamdulillah saya lolos mengikuti tes berikutnya, yaitu tes akademik sesuai kompetensi. Saya pun menghadapi masalah yang sama. Kali ini, saya mengumpulkan sebanyak mungkin uang logam, lalu selepas isya, saya mulai duduk di meja telpon rumah peninggalan eyang yang saya tempati, yang kebetulan menggunakan telepon koin.

Saya pun menghubungi sahabat saya yang lain, Rere. Saya katakan, besok saya akan ujian komunikasi, so please, saya minta dia untuk bercerita apa saja tentang teori dan pelajaran komunikasi, dan saya akan mendengarkan. Tidak tahan dengan permintaan saya, Rere pun menangis.

Saya tegaskan padanya malam itu, "Rere, gue baik-baik saja. Sekarang akan lebih baik elu bantu gue bacain pelajaran komunikasi yang gue butuhin dan jangan 'nangis." Maka belajar melalui telepon itu pun berlanjut dan terhenti kala koin saya habis.

Alhamdulillah, saya lolos tes kedua dan berkesempatan mengikuti tes berikutnya, tes manajemen. Betul, saya kembali mendatangi sahabat yang lain untuk meminta bantuan. Sang sahabat kembali meminjamkan mobil dan memberikan saya sejumlah uang sehingga saya bisa membeli buku-buku yang saya butuhkan untuk belajar.

Saat saya lolos pada tes ketiga, saya pun mengikuti tes keempat, tes profile analysis. Kali ini, eyang uti menolong saya dengan membelikan tiket kereta api sehingga saya bisa berangkat tes ke jakarta.

Tes kelima, saya mengikuti psikotes selama 2 (dua) hari di Jakarta. Begitu berharapnya saya atas pekerjaan ini, saya menghubungi seorang sahabat di tempat saya bekerja dulu, di Kudus. Sahabat saya ini berlatar belakang pendidikan psikology dan bekerja di bagian SDM, Saya tanyakan, untuk psikotes saya esok hari, apa yang harus lakukan?

Mas Achmadi, sang sahabat dengan penuh semangat memberi dukungan kepada saya. Saya ingat, saya menghubunginya melalui handphone saat menumpang kendaraan seorang teman, dan sedang berada di lampu merah daerah panglilma polim, menuju blok b, jakarta selatan. Menurutnya, yang dibutuhkan saya saat ini adalah bersenang-senang untuk mendapatkan mood yang baik dan cukup istirahat.

Kala saya tanya saya harus apa, ia pun menjawab, "Pergi makan enak sana. Pergi nonton tapi tidurnya jangan malam-malam, jam sembilan ya..." Maka sang teman yang mobilnya saya tumpangi pun serta merta mentraktir saya makan, mengajak saya nonton, dan mengantar saya pulang ke rumah eyang sebelum jam sembilan malam.

Surprise ! Saya pun lolos psikotes dan berlanjut pada tes berikutnya, tes keenam, tes kesehatan. Lanjut ke tes berikutnya, tes ketujuh untuk memeriksa keaslian dokumen. Serangkaian tes itu pun berakhir setelah melampaui sebelas kali tes, termasuk wawancara dengan 2 (dua) orang direksi.

Wawancara dengan direksi berlangsung di bulan ramadhan. Saya datang di stasiun gambir dijemput Rere dengan ayahnya menunggu di area parkir. Saya pun menginap di rumah Rere di daerah Tomang Timur. Malamnya saat sahur, ayahnya membangunkan saya sahur, sementara ibunya memasakan masakan kesukaan saya, kentang rebus dengan olahan keju.

Subhanallah. Rere sekeluarga adalah keluarga keturunan yang beragama Konghucu. Tapi mereka sangat menghargai saya sedemikia rupa, hingga berbuka pun mereka kebetulan kumpul sekeluarga sehingga saya diajaknya makan bersama di sebuah restauran besar.

Perjuangan panjang ini jelas menjadi sebuah pengalaman spiritual tak terlupakan dalam hidup saya. Serangkaian tes panjang ini terjadi sepanjang tahun hingga berakhir di 3 (tiga) hari menjelang lebaran idul fitri, kala pimpinan tertinggi HRD menyampaikan kabar baik ini secara personal kepada saya melalui telepon.

Saya serasa memenangkan laitul qadar. Saya dapati ibunda tersujud sambil berurai air mata. Sementara saya masih terbengong mendengar kabar baik itu karena saat dihubungi menjelang ashar itu saya tengah tertidur sejak lepas duhur.

SAHABAT, KAWAN, HARTA TAK TERNILAI
Bagaimana saya memenangkan pekerjaan ini kala itu memberikan pengalaman luar biasa tentang banyak hal. Saya belajar tentang kepasrahan dan berserah diri atas keadaan yang paling menyulitkan lahir dan batin. Saya pun belajar tentang arti persahabatan yang sesungguhnya. Adalah para sahabat yang mendukung saya di saat susah, kala keluarga mungkin tengah berkonsentrasi untuk hal lain yang lebih penting.

Saya belajar tentang berbesar hati, kerendahan hati dan kesportifan hidup. Mengakui keterbatasan saya tanpa pernah malu untuk meminta bantuan, selagi hal itu untuk hal-hal yang benar. Saya tidak malu untuk meminta rupiah, saya tidak peduli, karena saya tidak meminta uang untuk hal yang buruk.

Adalah sahabat, yang di setiap tahapan tes yang saya lalui, selalu meyakinkan saya, "Diterima, diterima... cuma disuruh sabar aja kok..." katanya. Sahabat yang lain berkomentar, "Gimana gak diterima kerja lo? Elo sholat ga ada putusnya seharian...!" Wuakakakak. Namanya juga bulan puasa, pastilah kelihatannya saya sholat terus, namanya juga terawih, walaupun harus saya lakukan sendirian, di atas kasur, karena Rere memelihara anjing di kamarnya.

MISKIN YANG SOMBONG
Konon dalam hidup ini ada 4 (empat) kelompok manusia;
1. Orang kaya yang sombong, 'wajar'lah... namanya juga orang kaya...   :)
2. Orang kaya yang tidak sombong, jarang banget, ya nggak ?  :p
3. Orang miskin yang tidak sombong, lazimnya sih begitu....  :]
4. Orang miskin yang sombong, nah ini dia... kasihan sekali kan hidupnya ?

Andai, saat itu saya jadi si miskin yang sombong, mungkin saya tidak akan mendapatkan pekerjaan yang saat itu begitu saya idam-idamkan. Itulah pelajaran hidup. Roda hidup itu berputar. Saat ini senang berada di atas, lain waktu di bawah. Maka manusia memang dituntut pandai-pandailah melakukan adjustment terhadap setiap situasi yang dihadapi.

Seperti halnya saat ini, pekerjaan yang begitu saya idam-idamkan ternyata begitu membuat saya tak bisa lagi berkata-kata. Hanya satu hal yang tersisa dalam benak saya, kebobrokan negara ini sungguh terlihat jelas di setiap sistem yang berlaku di instansi yang menjadi turunannya. 

Dan menyaksikan semua ini sungguh melelahkan dan menguras energi luar biasa. Bisa jadi ini situasi lain lagi yang tengah saya hadapi. Berbaik sangka saja pada Sang Pencipta. Andai ada hal yang dapat saya lakukan untuk berkontribusi mengambil peran memperbaiki sedikit saja dari seluruh kekacauan dan ketidaklayakan ini. Tapi saya sungguh tak mampu.

Maka biar Allah saja yang melakukannya. Ialah sebaik-baiknya pengambil keputusan dan pemberi penolong. Maka sesungguhnya manusia itu hina dan tidak berarti apa-apa. Semoga saya tetap qonaah menjalani ketentuan ini. Aamiin ya rabbal alamin.... 


No comments: