Sunday 6 June 2010

JADI MINORITAS

Cerita ini bukan cerita tentang sara, walaupun mungkin kental dengan nuansa itu. Cerita ini lebih pada pengalaman luar biasa indah yang saya rasakan selama ini, berada di tengah-tengah perbedaan yang terjalin luar biasa tulus dan ihklas bersama teman-teman sekolah.

Alkisah, sejak umur 4 (empat) tahun saya sekolah di taman kanak-kanak (TK) katholik yang terkenal & sangat disiplin di kota kelahiran saya, kota kecil, di Jawa Tengah. Melanjutkan ke sekolah dasar (SD) saya pun masih bersekolah di yayasan sekolah yang sama. Hingga melanjutkan ke jenjang yang lebih tinggi, lagi-lagi saya menghabiskan waktu saya di sekolah menengah pertama (SMP) di sana. Alhasil, saya sedikitnya menghabiskan sebelas tahun bersekolah di sekolah katholik. Bisa dibayangkan, saya bertemu dengan teman yang sama sejak saya TK hingga SMP ! Kwkwkwkwk ! Seru kaaaaaan ?

Layaknya anak kecil, saya tentu tidak mengenal yang namanya perbedaan dalam kaca mata sara. Apalagi menjadi minoritas, saya tidak tahu sama sekali. Yang saya tahu, teman-teman saya sebagian besar memang keturunan china, bermata sipit, berkulit putih dan berbeda keimanan dengan saya. Namun selebihnya, saya melakukan banyak hal di sekolah bersama-sama seluruh teman-teman yang saya kenal. Percayakah, hingga kini saya masih ingat berbagai doa dan lagu-lagu gospel yang pernah saya tahu sejak saya kecil dulu. Saya menganggapnya sebagai ilmu pengetahuan. Sebuah perbedaan yang selayaknya tidak perlu menjadi permasalahan ....

Kami belajar di kelas yang sama, mengikuti pelajaran tari jawa klasik bersama-sama, menghafal tembang mocopat bersama, berlatih drum band dan menjadi juara, berlatih ensamble dan tampil di TVRI Jogjakarta serta menginap di salah satu sekolah susteran di Jogja, dan masih banyak lagi. Satu-satunya perbedaan mungkin, uang sekolah saya lebih murah dibandingkan teman-teman saya, karena orang tua mereka jauh lebih kaya raya daripada orang tua saya ! Hahahahahaha ... ! Ya, uang sekolah menjadi salah satu wujud toleransi nyata di antara kami yang bersekolah di sana. Jadi yang mampu mensubsidi yang lainnya.

Kini, 22 (dua puluh dua) tahun berlalu, kami pun berkumpul lagi dalam sebuah acara reuni yang luar biasa menyenangkan. Dan saya, masih merasakan kebersamaan itu ! Bayangkan saja, tidak satu orang pun di antara kami para alumni diwajibkan membayar dengan besaran tertentu. Sebaliknya, siapa pun boleh mengirimkan donasinya, berapapun besarnya. Yang tidak mampu, tidak perlu menyumbang.

Tidak hanya itu, teman-teman penggagas reuni pun berkeinginan mengumpulkan semua kepala sekolah (saat itu ada 2 kepala sekolah yang bertugas), guru, petugas tata usaha hingga tukang kebersihan dan tukang kebun ! Padahal, ada di antara mereka yang sudah pensiun, sakit, pulang kampung, yang keberadaannya cukup jauh dari kota kami. Alhamdulillah, teman-teman berhasil menjemput mereka satu demi satu yang 'tercecer', menyediakan penginapan yang layak dan mengantarkan mereka kembali pulang ke kota asalnya. Maka di hari reuni itu, para alumni yang berasal dari 6 (enam) kelas itu (berarti lebih dari 200 alumni) pun berhasil menemui 34 (tiga puluh empat) orang yang telah berjasa mendidik mereka. Luar biasa .... !!!

Maka, pada 28-29 Mei 2010 lalu, reuni yang berlangsung 2 hari satu malam itu pun berlangsung sukses, meriah dan menyenangkan, di ballroom sebuah hotel berbintang 3 terbaik di kota kami, dilanjutkan berkumpul dalam api unggun dan di berakhir di sebuah lapangan futsal. Semua makanan masa kecil kami tumplek blek di sana. Kami tinggal datang, dibagi kaos dan souvenir serta memandangi pasfoto lugu kami semua 22 tahun lalu yang terpampang besar-besar di sepanjang dinding ballroom hotel. Maka kami pun dibuat takjub dengan tampang culun kami lengkap dengan cap jempol !

Dengan bijaksana, salah seorang guru kami dalam pidatonya menyampaikan kesannya pada hajat reuni ini. Bahwa beliau bisa melihat dan merasakan, ada wajah-wajah sukses di antara kami, tapi juga ada wajah-wajah belum sukses di antara kami. Namun itu semua tidak menjadikan perbedaan sedikitpun di antara kami. Beliau dapat merasakan kebersamaan yang tulus di antara kami. Demikianlah nilai-niali yang beliau-beliau tanamkan pada kami berpuluh-puluh tahun lalu. Inilah buahnya, kebersamaan yang nyata ....

Saya, menjadi satu di antara 4 (empat) orang alumni yang hadir berkerudung. Subhanallah. Bagi saya, itulah indahnya perbedaan. Dalam lingkungan ini, sesungguhnya saya merasakan diri saya sebagai minoritas yang sangat bersyukur & beruntung. Saya memiliki teman-teman yang sangat baik. Mereka semua (yang mayoritas) sangat penuh pengertian terhadap perbedaan yang ada, yang bisa jadi sangat sensitif di antara kami (yang minoritas). Sahabat-sahabat saya ini, rekan-rekan panitia, dalam berbagai kesulitan finansial dalam penyelenggaraan kegiatan reuni ini selalu menekankan "... kan tidak semuanya mampu ..." termasuk saat panitia akhirnya memutuskan membagikan hem rompi alumni yang sangat gaya kepada semua alumni dengan free. Mereka mengutamakan kebersamaan, apapun yang terjadi. Dan pembicaraan itu hanya terjadi di antara mereka, saya pun tidak tahu bila saya tidak bertanya ada masalah apa ?

Sebaliknya, karena saya termasuk kelompok minoritas, maka teman-teman minoritas yang lain, baik yang berbeda suku, keyakinan maupun status ekonomi pun memiliki kesan yang sama serta punya caranya sendiri menyikapi keindahan ini. Intinya, saya dan mereka (yang minoritas) sama-sama mengerti situasi ini. Mereka, secara tulus menyampaikan ucapan terima kasih kepada teman-teman penggagas acara atas undangan dan segala kesempatannya untuk bergabung dalam acara yang luar biasa penuh kenangan dan menyenangkan ini, melalui saya. Mungkin, mereka berpikir saya menjadi panitia dalam hajatan besar ini. Padahal, saya pun hanya tamu. Ternyata, baik mereka yang mayoritas maupun kami yang minoritas sama-sama menyadari apa & bagaimana mereka seharusnya bersikap dan lakukan dalam posisi mereka masing-masing. Subhanallah ... betapa indahnya Allah telah memberikan kedamaian seperti ini di antara kami ...

Masih terbayang dalam ingatan saya, malam itu, saat lagu Hymne Guru dialunkan bersama alumni dan siswa, dalam kegelapan berteman bias lilin-lilin kecil. Saya melihat wajah para guru itu sungguh masgul, tertegun, terkesima, mata mereka nanar, tersentuh, terharu, bahagia, bangga ... dan entah apa lagi. Kami para muridnya tak akan mampu membawa kebersamaan tanpa nilai-nilai yang senantiasa mereka tanamkan 22 tahun lalu itu.


Menjadi minoritas, bila berada dalam lingkungan mayoritas yang sangat penuh toleransi dan pengertian sungguh hanya kebaikan semata yang akan kita tuai. Saya sangat menghargai atas pertemanan yang tulus yang telah dijalin oleh teman-teman semasa kecil saya dulu itu. Bisa jadi, dalam benak mereka tidak pernah terlintas soal minoritas dalam interaksi sosial ini. Bisa jadi ini hanya persaaan saya saja yang terlalu naif. Karena, interaksi ini, hubungan pertemanan ini benar-benar tulus dan nyata. Dan itu, agak sulit diterima oleh nalar, akar pikiran saya, di situasi bangsa belakangan ini. Namun saya percaya, tak ada yang tak mungkin bila Tuhan menghendaki. Dan atas seizin-Nya-lah maka seluruh nikmat ini dapat kami rasakan. Subhanallah, semoga keindahan dan ketulusan ini akan senantiasa terjaga. Amin ....

1 comment:

murnisaroso said...

Inilh yang disebut dengan indahnya kebersamaan, dan indahnya perbedaan.......