PESAN SINGKAT DILLA
Rabu, 26 Januari 2011, sekitar dhuhur, sebuah pesan singkat dari seorang sahabat, Dila, mengabarkan, "Mbak, Prof. Harsono masuk ICU, RSCM." Saya langsung menghubungi Dila, sayang dia tak tahu banyak kabar mengenai sakitnya sang profesor. Saya pun menghubungi paska UI. Mas Agus, yang menerima telepon saya hanya mengabarkan beliau dirawat di gedung baru, RSCM Kencana. Saat itu Pak Edu, Pak Pinckey dan seorang dosen yang lain tengah membesuk. Saya lalu menghubungi Pak Edu, tak berhasil.
Berikutnya, saya menghubungi Rere. Saya minta tolong padanya agar segera mengabarkan kepada teman-teman lainnya alumni paska UI. Mendengar kisah betapa Prof. Harsono sangat berjasa dalam hidup saya, Rere pun setengah menghardik, "Lu sudah dianggap seperti anak angkatnya, kalau lu ga tungguin dia di rumah sakit kebangetaaaaannn ... !!!" begitu katanya.
Semula, saya sudah memutuskan akan membesuk beliau sore kemarin pulang kantor. Tapi sepertinya saya akan tiba di Bintaro larut malam kalau hedak besuk beliau di Salemba sepulang kantor. Saya membayangkan kemacetan Jakarta akan membuat saya 'gilaaaaa.' Saya pun akhirnya memutuskan membesuk beliau esok hari.
KETUA ANGKATAN-6 YANG DROP OUT
Saya mendaftarkan kuliah S-2 manajemen komunikasi pada 1999. Saya terdaftar sebagai angkatan ke-6. Saat itu, biaya kuliah per-semesternya Rp. 5,9 juta. Pada semester pertama, ditambah dengan biaya lain-lainnya, maka saya harus membayar Rp. 6,5 juta.
Saat itu, angkatan ke-6 memiliki 2 kelas. Saya ada di kelas A. Saya dipercaya sebagai ketua angkatan. Wakil saya, Dede, cowok baik hati yang kala itu bekerja di UNDP. Di awal tes masuk S-2 inilah saya bertemu Rere, sahabat yang kini menjadi soul-mate saya lebih dari sepuluh tahun lamanya ....
Menginjak semester ke-3, saya droup out (DO). Saya tidak punya biaya, saya tidak sanggup membayar uang kuliah. Meski begitu, saya nekat kuliah terus dan mengikuti ujian dan tetap mendapatkan nilai. Nilai-nilai saya bagus semua, mayoritas A dan IP saya rata-rata 3,5.
Saya DO di semester gasal tahun 2001. Air mata saya sampai kering dan asli tidak mengeluarkan air mata kala saya menangis, meratapi kegagalan saya melanjutkan kuliah. Saya berupaya keras meminta bantuan rektorat untuk mendapatkan kebijakan sehingga saya dapat menyelesaikan kuliah. Tapi seorang ibu pejabat rektorat yang saya temui sungguh galak dan tidak berperasaan ! Saya pun terpaksa menerima ke-DO-an saya dengan masgul.
DANA TALANGAN PRIBADI PROFESOR
Saya pun menemui Prof. Harsono. Beliau pula sesungguhnya yang menjadi dosen pembimbing thesis saya, yang juga gagal pastinya karena saya DO. Beliau lalu menyarankan agar saya mengulangi lagi kuliah dari awal, dengan biaya pribadinya ! Beliau meminjamkan tabungan pribadinya untuk saya, dan saya boleh mencicilnya 4 atau 5 kali dalam tiap semesternya ! Subhanallah !
Saya pun menuruti sarannya. Saya kembali mendaftarkan diri untuk mengikuti tes masuk. Seperti biasa tes TPA berlangsung di Depok. Saya berangkat dari kos-kosan saya di bilangan Cibulan menggunakan bajaj hingga seputar lampu merah kalibata di jl. raya pasar minggu, lalu menumpang sebuah bis patas ac hingga UI Depok.
Alhamdulillah saya lulus dan diterima sebagai mahasiswa paska UI, manajemen komunikasi angkatan ke-9. Kali ini biaya kuliah per semesternya sekitar Rp.7,5 juta. Ditambah dengan biaya lain-lainnya, saya harus membayar sekitar Rp. 8,5 juta di semester pertama. Sesuai tawarannya, maka Prof. Harsono pun membiayai kuliah saya, dan saya mencicil sesuai kesepakatan.
Demikianlah kisahnya, perjalanan hidup saya meraih cita-cita dan peran serta bantuan nyata Prof. Harsono Suwardi sangat menentukan kesuksesan dan nasib yang telah saya raih saat ini dan yang akan terus saya raih hingga nanti ! Beliau menjadikan saya seorang master komunikasi dengan tabungan pribadinya kepada saya, mahasiswanya yang putus sekolah karena tidak punya uang ! Alhamdulillah ....
PROFESOR & CERUTU
Mungkin, karena kebiasaannya suka menghisap cerutu, Prof. Harsono pun menderita sakit paru-paru dan dirawat di ICU RSCM Kencana pada Rabu, 26 Januari 2010 pukul 02.00 wib dini hari.
Saya meninggalkan kantor Kamis, 27 Januari 2011 pukul 11.00 wib. Sesungguhnya pukul 11.30 wib saya sudah tiba di depan RSCM, tapi hingga pukul 12.30 wib saya meninggalkan area parkir RSCM saya tetap tidak menemukan lahan parkir untuk si jeruk kesayangan saya. Saya akhirnya memutuskan memarkirkan si jeruk di kampus UI dekat FE, persisnya dekat kamar mayat.
Saat saya tiba di koridor ruang ICU RSCM Kendana dan berdiri di balik kaca, saya langsung bisa melihat wajahnya yang putih, sisirannya rapi, necis, perlente, seperti biasanya walaupun kali ini tanpa baju karena sejumlah alat menempel di tubuhnya.
Spontan, saya langsung melambaikan kedua tangan saya. Beliau dengan ragu merespon lambaian tangan saya. Saya berusaha masuk ke dalam, tapi rupanya sang suster tidak mengijinkan. Saya pun meminta suster sebuah kertas dan alat tulis agar saya dapat meninggalkan pesan untuk beliau. Sebab saya lihat tadi, beliau dirawat sambil terus memegang sebuah koran ! Hahahaha ....
Saya lalu menuliskan catatan dalam selembar kertas putih. Saya kenalkan lagi diri saya, saya khawatir beliau lupa karena pasti beliau punya banyak mahasiswa. Saya ingatkan bahwa beliau telah banyak membantu saya dengan membiayai saya kuliah. Saya ceritakan saat ini saya sudah bekerja di perusahaan yang kegiatannya sangat langka dan tidak dimiliki oleh setiap negara di dunia. Saya bilang, hebat ya saya, mahasiswa bapak ? Saya juga bilang semoga beliau cepat sehat dan banyak istirahat. Salam Rere, sahabat yang sempat saya hubungi saat di area parkir RSCM tadi juga saya sampaikan.
Saat catatan itu akan diserahkan ke Prof. Rupanya beliau telah tertidur. Maka saya hanya memandangi wajahnya saja dari balik kaca besar. Beruntung, tiba-tiba beliau terbangun. Maka saya segera memberi kode kepada suster untuk menyerahkan tulisan tangan saya. Beliau lalu membacanya, perlahan. Tiba-tiba beliau menunjukkan kedua jempolnya untuk saya, hebat katanya. Sepertinya beliau tengah membaca di bagian pekerjaan saya. Saat selesai membaca semua catatan saya, beliau lalu mengangguk-angguk.
Lalu saya dan belaiu terlibat pembicaraan dengan bahasa isyarat. Terbatas oleh jarak dan dinding kaca lebih dari 4 meter, beliau di dalam, saya di luar, di koridor. Tepat pukul 13.00 wib. Saya bilang saya mau pulang. Saya sudah sebutkan dalam catatan saya tadi, bila beliau sudah pindah ke kamar rawat inap, Inssya Allah saya akan datang lagi. Saya lalu memberi kode pada belau untuk tidur dan saya pamit sembari mengatupkan kedua tangan. Beliau pun melakukan hal yang sama melepas kepergian saya.
Pffffh ... lega rasanya. Panasnya jalanan protokol Jakarta, sulitnya mencari parkir di area RSCM hingga satu jam lamanya, dipotongnya gaji saya karena ijin meninggalkan kantor di saat jam kerja terasa impas melihat kondisi beliau. Suster bilang, bila kondisi beliau terus membaik, sore ini atau besok pagi beliau akan masuk ruang rawat inap.
Prof, terima kasih sudah mengijinkan saya melakkukan sesuatu yang kecil untuk semua jasa baik yang Profesor telah berikan untuk saya. Saya tidak akan menjadi seperti saya saat ini, seorang master komunikasi yang beruntung kuliah master 2x (hahahaha) tanpa budi baik dan jasa Profesor Harsono. Semoga Allah SWT senantiasa melimpahkan kemuliaan atas ketulusan seorang pendidik yang sebenarnya, guru besar ilmu komunikasi paska UI, Profesor Harsono Suwardi.
1 comment:
....alhamdulillah, memberikan inspirasi bagi saya untuk mencari hidup dan penghidupan yang lebih layak....terima kasih b'Firlly, mohon doa restu Ibu bagi saya untuk terus berjuang....semoga Prof senantiasa diberikan kebaikan & kemudahan jalan hidup....subhanallah....
Post a Comment