Wednesday, 10 June 2009

MENYESAL

Menyesal biasanya datang belakangan. Maksud hati ga' mau marah, apa daya ga' tahan juga. Alhasil, marah juga. Akhirnya, menyesal ....

Saya hanya mengenal diri saya sendiri saja, bahwa seingat saya saya tidak pernah bersikap seperti itu. Saya selalu menghormati dan mencintai guru-guru saya. Saya selalu bersahabat dengan mereka. Sejak saya sekolah dasar saya punya banyak kisah dengan guru-guru saya, baik guru menari, guru musik, guru drum band, guru olah raga, guru IPS (hingga ulangan saya skornya 100!), dan banyak lagi.

Berlanjut di SMP, saya pun bersahabat baik dengan guru-guru saya, mulai dari guru bahasa inggris; tak peduli nilai rapot saya 4, guru matematika, guru olah raga, guru PKK, guru biologi. Namun akibatnya, saya mampu belajar dengan baik, termotivasi dan memperoleh nilai yang jauh lebih baik di akhir masa studi, lantaran saya mempunyai hubungan yang baik dengan guru-guru saya, lantaran saya selalu menghormati guru-guru saya.

Bagi saya masa SMA, adalah masa belajar yang paling sulit. Namun betapa pun sulitnya masa itu, tidak juga membuat saya tidak menghargai guru-guru saya. Saya tetap bersahabat dengan guru matematika yang killer sekalipun, guru olah raga, guru fisika yang guanteng, guru kimia yang aneh, guru biologi yang ... begitu deh, guru bahasa inggris yang wierd. Tapi tetap ... saya selalu menghargai mereka.

Kuliah, jangan ditanya lagi. Bang Jamil, dosen MPK paling disegani di kampus, dan saya belajar melebihi orang tirakat kejawen ! Saya uber-uber beliau ke mana pun perginya. Saya tidak peduli harus mengejar beliau ke mana, yang penting saya bisa belajar. Dan beliau tidak pernah keberatan, beliau selalu meluangkan waktunya untuk saya. Pak Lubis, dosen SEI yang sudah sangat sepuh, saya beradu pendapat soal nilai ujian saya, dan beliau mengakui saya layak mendapatkan nilai lebih baik.

Saya pun sangat bersyukur menjadi murid kesayangan Prof. Alwi Dahlan. Mungkin beliau tidak pernah merasa memperlakuan saya secara istimewa, tapi saya merasa beliau begitu baik terhadap saya. Padahal memperoleh nilai A beliau sungguh sangat sulit, tapi beliau begitu ... apa ya ..., memperhatikan setiap kemajuan studi dan tesis saya. Ada lagi Prof. Harsono, beliaulah yang menyelamatkan saya, beliau dengan tulus meminjamkan uang pribadinya untuk membayar uang sekolah saya yang terancam DO ! Saya tidak pernah membayangkan, apalagi terpikirkan ada dosen, guru sebaik hati itu terhadap siswanya. Dan saya sungguh sangat bersyukur saya memperoleh itu. Prof. Sasa Djuarsa Sandjaja, beliau yang aktif mengejar-ngejar saya agar merampungkan tesis saya.

Saya selalu terkesan kepada semua guru dan dosen saya. Walaupun, saya pun melihat begitu banyak kawan-kawan saya yang tidak menghargai mereka sebagaimana saya sangat menghormati mereka. Bagi saya, guru adalah sejajar dengan orang tua. Bahkan, pada periode atau kurun waktu penting di masa pertumbuhan, seorang anak lebih banyak menghabiskan waktunya di sekolah bersama guru-guru mereka. Guru-lah yang mengajarkan mereka berpikir.

Itulah sebabnya, saya tidak akan pernah lupa jasa-jasa Pak Thamrin dan Bu Fodhli. Merekalah yang mengajari saya sholat, ngaji, menulis arab, menghafal doa mau tidur, naik kendaraan, keluar pintu rumah, mau makan, keluar kamar mandi, dll. sejak saya kelas 1 SD ! Massya Allah ... apa jadinya saya kalau tidak ada mereka ....

Sekarang, saat saya berada di posisi mereka, saya tidak ingin anak didik saya merasa segan atau menghormati saya seperti ... apa ya ... kaku dan ortodok. Saya hanya ingin mereka menghargai diri mereka sendiri dan tidak melakukan kegiatan yang sia-sia yang tidak mengajarkan dan memberikan manfaat apa-apa bagi hidup mereka di masa depan. Saya hanya ingin, mereka punya kehidupan lebih baik dari saya, jauh lebih baik dari saya. Inssya Allah, amin ....

No comments: