Delapan tahun yang lalu, saya memohon, meminta, menghiba, sedmikian rupa kepada Allah SWT agar mendapatkan pekerjaan, seolah-olah nyawa saya akan tercabut esok hari. Saya meminta dengan sangat, dengan sabar, dengan tawadhu, dengan sungguh-sungguh, pagi, siang, sore, malam tiada henti. Saya juga berniat, akan bekerja sebaik-baiknya di tempat yang sangat saya idam-idamkan selama ini. Alhamdulillahirrobbil alamin ... doa pun terkabul, saya mendapatkan apa yang saya minta.
Saya masih ingat, saat kabar itu datang di bulan Ramadhan, hanya beberapa hari menjelang lebaran. Saya sungguh sangat bersyukur, rasanya saya memenangkan lailatul qodhar. Teringat betapa perjuangan saya yang sungguh berat tidak sia-sia. Tidak mempunyai apa-apa, dan saya berhasil melewati tahap demi tahap tes hingga tes kesebelas berkat dukungan banyak orang dan kerabat juga belas kasihan banyak teman.
Setiap kali mendapat panggilan tes, saya harus menumpang tidur di kos-kos-an seorang sepupu, bahkan teman. Untuk mempersiapkan diri menjelang tes, saya 'terpaksa' minta sedikit uang kepada teman agar bisa membeli buku, untuk belajar. Terakhir, karena sudah sangat malu meminta uang, saya mengumpulkan koin logam sebanyak-banyaknya agar bisa menelepon seorang sahabat yang lain. Saya minta kepadanya untuk membaca buku apa saja tentang ilmu yang akan diujikan agar saya dapat belajar sambil menyimak semua perkatannya, melalui telepon.
Saat saya dipanggil untuk tes wawancara, saya kembali meminta pertolongannya. Dia dan ayahnya dengan tulus menjemput dan menunggu kedatangan saya di stasiun Gambir pada suatu malam. Saya pun diajak menginap di rumahnya. Karena saat itu bulan Ramadhan, ayahnya pulalah yang membangunkan saya dan sahabat, sementara ibunya memasak makanan untuk saya sahur. Padahal mereka tidak berpuasa !
Subhanallah, pengalaman ini sungguh sangat indah, dan rasanya sulit saya lupakan. Pertolongan sahabat yang sangat tulus ikhlas beserta seluruh anggota keluarganya ini, begitu mulia. Padahal, kami berbeda ras dan keyakinan, tentu sangat jarang terjadi persahabatan begitu tulus seperti ini. Namun saya merasakan semua kejadian ini dengan penuh nikmat dan syukur. Luar biasa indah ....
Begitu pula saya merasakan seluruh kesulitan hidup saat itu dengan penuh ikhlas. Masih teringat saat sang sahabat bertanya pada saya, "Firlly, bagaimana mungkin kamu menjalani hidup seperti ini ? Kasihan sekali hidup kamu ..." tanyanya heran dan melas. Tapi anehnya, saya menjawabnya dengan enteng saja, "Sudahlah, Re. Saya tidak apa-apa, saya baik-baik saja." tegas saya mantap. Pembicaraan ini terjadi dalam sebuah box wartel di bilangan Jakarta Selatan.
Kini, delapan tahun berlalu, dada ini terasa sangat sesak menjalani semua. Bukan berarti saya tidak bersyukur, sama sekali bukan. Tapi kenyataannya adalah bahwa sepertinya, ternyata, mungkin, saya tersesat di situasi yang sarat akan hal yang tidak sanggup saya mengerti, sama sekali .... Wallahualam bisawam ....
Saya sungguh tidak bisa lagi memahami semua rahasia ini. Saya tidak mampu mencernanya. Tapi saya meyakini satu hal. Tidak ada satu kejadian di muka bumi ini yang sia-sia. Dan saya belajar dari apa yang saya alami delapan tahun lalu. Saat itu, saya begitu ikhlas menjalani hidup, betapapun sulit dan miskinnya hidup saya saat itu. Itulah sebabnya, walaupun situasi yang saya hadapi saat itu begitu sulit, tapi kemudahan demi kemudahan datang menghampiri saya. Pertongan datang bertubi-tubi tanpa saya harus bersusah payah meminta dan mempermalukan diri saya lebih banyak lagi.
Hari ini, mungkin keikhlasan saya tidak, belum, lebih baik dari keihklasan hati saya seperti delapan tahun lalu sehingga Allah SWT masih menunggu keikhlasan saya yang sesungguhnya. "Dan mohonlah pertolongan dengan sabar dan shalat; dan sesungguhnya salat itu berat, kecuali atas orang-orang yang khusu' ..." (Al Quran, Surat Al Baqarah, ayat 45)
No comments:
Post a Comment