Saturday, 23 May 2009

"DITOLAK" BEROBAT


Awal November 2007, suatu sore dengan bantuan tetangga tibalah saya di unit gawat darurat sebuah rumah sakit internasional tak jauh dari rumah. Ceritanya, saya alergi asap rokok yang selalu saya hirup di ruang kerja, senin sampai jumat, setengah delapan hingga pukul empat sore. Akibatnya, saya terserang batuk yang ... sangat melelahkan, karena membuat dada saya berguncang-guncang sehingga sangat menguras tenaga. Yang lebih merepotkan lagi, saya terbatuk-batuk sepanjang pagi hingga malam hari sehingga saya pun tak bisa tidur dan terpaksa menahan kantuk sembari terduduk di tempat tidur.

Nah, singkat cerita obat yang saya konsumsi 'sepertinya' mengganggu lambung saya yang sudah menderita maag chronis cukup lama. Akibatnya, sepanjang hari itu pun saya pun muntah-muntah hingga dehidrasi. Ketika saya memutuskan akan 'melarikan diri saya' ke rumah sakit, saya pun bersusah payah berganti pakaian yang lebih pantas dan terhuyung-huyung keluar rumah menuju mobil. Pikiran saya hanya satu, siapapun tetangga yang ada dan saya temui di luar rumah, dialah yang akan saya mintai tolong untuk mengantar saya ke rumah sakit, karena saya sendirian di rumah

Jadilah, saya diantar seorang bapak yang tinggalnya persis di depan rumah. Dia terburu-buru mengunci rumah dan segera mengantar saya ke rumah sakit internasional tersebut. Saat itulah baru saya tahu bila ternyata tetangga saya itu, istrinya bekerja sebagai HR di rumah sakit tersebut. Alhasil, setibanya di UGD tak lama sang bapak tetangga sudah berkoordinasi dengan sang istri sehingga segera membantu saya.

Di sinilah kisah lucu dimulai, kebetulan sore itu memang jadwal saya bertemu dengan dokter spesialis yang telah memberikan saya obat untuk kontrol lagi. Begitu payahnya saya, sehingga sejak di UGD saya terus saja minta obat sakit kepala. Satu tablet obat tidak juga menghilangkan rasa pusing yang saya derita. Akibatnya, saat tiba giliran saya kontrol saya pun menggunakan kursi roda dari UGD hingga ke ruang dokter.

Setiba di ruang periksa dokter spesialis yang dimaksud, saya langsung merebahkan kepala saya di atas meja dokter ! Saya tidak kuasa lagi menahan sakit kepala ! Saya tidak tahu lagi apa yang dokter itu bicarakan dengan tetangga saya yang baik hati itu. The last minute, saat sang tetangga bertanya apa yang harus dilakukan, dokter itu menjawab bahwa saya menderita sinusitis acut, penyakit yang tidak pernah saya derita selama ini. Untuk itu perlu tindakan medis, yaitu operasi. Namun sejurus kemudian sang dokter berkomentar, "Namun untuk melakukan tindakan medis itu, ada biayanya, dan biayanya besar !" Alamaaaaaak ... ternyata sang dokter spesialis yang budiman itu meng'under estimate' saya ! Kesimpulannya berarti, wujud saya saat itu pasti, dekil bin kumel sekali ... ! Kebayang dunk, orang meriang pakai baju seada-adanya. Wuakakakak ....

Alhasil, ibu tetangga saya yang baik hati itulah yang meyakinkan sang dokter bahwa saya bekerja di pabrik uang ! Bahwa saya punya cukup uang untuk membayar biaya berobat ! Jadi, saya sanggup membayar biaya pengobatan saya ! Oalaaaah ... dokter, kok gitu amat sih jadi orang ? Dia pikir yang kaya raya hanya dokter spesialis saja ya di dunia ini ... ? Massya Allah ....

Yang menarik, justru para medisnyalah yang punya sikap jauh lebih manusiawi dibanding dokternya. Dia menyarankan kepada sang dokter agar saya segera dibawa ke ruang kamar untuk observasi dulu saja atau istirahat. Akhirnya saya pun dibawa ke sebuah kamar, di sana, untuk kesekian kalinya saya minta lagi obat sakit kepala ! Hingga akhirnya saya benar-benar dipindahkan ke kamar perawatan yang baru, saya kembali minta diberikan obat sakit kepala hingga akhirnya saya bisa beristirahat dan tertidur.

Setelah dirawat selama 3 (tiga) hari, seminggu kemudian saya pun kontrol lagi kepada dokter sombong tersebut. Kali ini saya datang sepulang kantor berpakaian rapi. Saat si dokter membaca medical record saya, dia pun bertanya kepada sang suster, "Ibu ini pasien yang mana ya ?" tanyanya bingung. Kembali, sang perawatlah yang mengingatkan sang dokter, "Ibu ini yang kemarin sakit payah itu lho dok ..." katanya mencoba membantu. Setelah mengingat-ingat, barulah sang dokter berhasil mengumpulkan memorinya. "Oya, ya, ya ..." katanya tertegun menatap saya. Rupanya, sang dokter sombong tidak mengenali saya.

Saya, bukan orang kaya. Saya juga bukan Dian Sastro yang sangat cantik dan menarik sehingga membuat dokter tidak mengenali saya. Namun, apa yang saya alami ini sungguh sebuah pengalaman dan realita yang menarik. Sebagai seorang tenaga medis, bukankah seorang dokter punya kode etik profesional yang harus berlaku sopan dan mengutamakan keselamatan pasien ? Setidaknya, tidak to the point seperti pernyataannya yang meragukan kemampuan finansial pasiennya.

Ingat dunk ya, pepatah don't judge the book from its cover. Jadi jangan menilai seseorang dari penampilannya dunk, dok. Tapi kenyataanya, sukar sekali ya melakukannya. Faktanya, orang yang cantik dan tampan seringkali memang lebih banyak mendapatakan priviledge dalam hidup ketimbang orang yang biasa-biasa saja. Tapi memang begitulah hidup. Hidup itu memang tidak adil, adil hanya milik Allah ....

No comments: